A. Pendahuluan
Halal atau tidaknya menggunakan softlens. Beberapa lensa kontak bisa menimbulkan efek warna tertentu yang disukai oleh penggunanya dan akan membuat mata terlihat berbeda. Pengguna softlens untuk fashion ini bisa dibilang sebagai salah satu teknis berdandan atau berhias.
Kalau kita renungkan, memang ada kemiripan fungsi penggunaan softlens dengan kaca mata. Awalnya kaca mata digunakan untuk alasan teknis, yaitu membantu masalah pada mata. Tetapi sekarang, fungsi kaca mata nampaknya sudah bukan lagi mengenai teknis saja, dan masuk ke wilayah estetika, keindahan, penampilan, fashion dan style. Karena kaca mata dalam beberapa situasi memang bisa membuat penampilan seseorang terlihat berbeda.
B. Hukum Memakai Kontak Lens Untuk Perhiasan
Untuk membahas hukum memakai softlens dengan tujuan mempercantik diri, kita perlu tahu terlebih dahulu hukum berhias itu sendiri. Dalam kajian mengenai hukum berhias, ada yang halal dan ada yang haram. Dan ini juga yang masih jadi perdebatan para ulama. Setelah itu akan kita bahas apakah pemakaian softlens termasuk yang dihalalkan atau diharamkan.
C. Dalil Yang Mendasari Hukum Berhias
Pada dasarnya berhias itu hukumnya dibolehkan, sebagaimana firman Allah SWT :
قُل مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” (QS. Al-A’raf : 32)
Juga berdasarkan sabda Rasulullah SAW dalam hadits beliau berikut ini :
مَنْ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ نِعْمَةً فَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَيْهِ
Siapa orang yang Allah berikan kepadanya suatu kenikmatan, maka sungguh Allah suka melihat tanda atas nikmat yang diberikannya itu. (HR. Ahmad)
كَانَ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُول اللَّهِ يَنْتَظِرُونَهُ عَلَى الْبَابِ فَخَرَجَ يُرِيدُهُمْ وَفِي الدَّارِ رَكْوَةٌ فِيهَا مَاءٌ فَجَعَل يَنْظُرُ فِي الْمَاءِ وَيُسَوِّي لِحْيَتَهُ وَشَعْرَهُ . فَقُلْتُ : يَا رَسُول اللَّهِ . وَأَنْتَ تَفْعَل هَذَا ؟ قَال : نَعَمْ إِذَا خَرَجَ الرَّجُل إِلَى إِخْوَانِهِ فَلْيُهَيِّئْ مِنْ نَفْسِهِ فَإِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَال
Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa ada beberapa orang shahabat Nabi SAW menunggu beliau di depan pintu. Ketika beliau keluar menemui mereka, di dalam rumah ada wadah kopi berisi air, beliau pun berkaca, merapikan jenggot dan rambutnya. Aku (Aisyah) bertanya,”Ya Rasulallah, Anda melakukan hal itu?”. Beliau menjawab,”Ya, bila seseorang keluar untuk menemui saudaranya, hendaklah dia merapikan dirinya. Karena Allah itu indah dan suka keindahan. (HR. As-Sam’ani)
Dalil-dalil di atas merupakan petunjuk tentang dibolehkannya seseorang memakai pakaian yang bagus dan indah, atau berhias dengan penampilan yang menarik.
D. Berubahnya Hukum Berhias Berdasarkan Banyak Faktor
Namun dalam kasus per kasus, berhias akan menjadi berbeda-beda hukumnya, terkadang wajib, sunnah, makruh atau haram, sesuai dengan 5 hukum fiqih, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
1. Wajib
Berhias yang wajib antara lain berpakaian yang menutup aurat, khususnya wanita di depan laki-laki yang bukan muhrimnya. Dan secara umum, semua laki-laki pun wajib menutup auratnya di depan orang.
Berdandan juga menjadi wajib hukumnya tatkala seorang suami memerintahkan istrinya untuk berhias untuk dirinya, karena hal itu merupakan hak dari seorang suami atas istrinya.
2. Sunnah
Berhias yang hukumnya sunnah adalah ketika akan menghadiri shalat Jumat, atau shalat Idul Fithr dan Idul Adha, dan shalat lainnya.
Hal itu dilakukan dengan cara mandi, menggosok gigi, memotong kuku, memakai wewangian yang harum dan baik, dan mengenakan pakaian yang terbaik.
Para ulama juga menyunnahkan untuk berhias pada setiap kesempatan pertemuan dan berkumpul dengan banyak orang.
3. Mubah
Berhias yang mubah tentu yang tidak melanggar ketentuan, serta tidak ada keharusan untuk melakukannya.
4. Makruh
Di antara contoh berhias yang hukumnya makruh misalnya mengenakan pakaian muashfar dan muza’far bagi laki-laki.
5. Haram
Berhias yang haram cukup banyak contohnya. Di antara yang bisa dijadikan contohya adalah menyambung rambut, sebagaimana yang sering kita dengar atau dibilang orang.
Direktur Pelaksana LPPOM MUI Ir. Lukmanul Hakim, M. Si menegaskan, proses audit LPPOM MUI sangat detil demi memastikan kehalalan sebuah produk, karena lembaganya dituntut untuk memberikan scientific judgement tanpa ada bias pada produk yang diajukan.
“Auditor yang ada di LPPOM memiliki pemahaman ilmiah atau ilmul yaqin dan ainul yaqin, sedangkan di tingkat Komisi Fatwa kemudian menjadi Haqqul Yakin,” kata Lukmanul Hakim saat Jumpa Pers di Kantor MUI Pusat, Rabu (26/2/2014)
Auditor dan Rapat Auditor LPPOM MUI bertugas untuk memastikan sebuah informasi tentang produk yang diteliti jelas tanpa ada bias, kemudian dibawa ke komisi Fatwa untuk selanjutnya Komisi Fatwa menetapkan hukum.
Auditor melihat secara langsung melalui “on site audit” di perusahaan yang mengajukan sertifikat. Setelah itu, auditor wajib melaporkan pada Rapat Auditor untuk mempresentasikan hasil auditnya, sehingga melahirkan Scientific Judgement.
Dalam menjalankan fungsinya, LPPOM memberikan sejumlah kategori terhadap beragam produk dan kategorisasi itu berpengaruh terhadap proses auditnya, yang paling mendapatkan perhatian adalah pada kategori ; “very high risk” atau produk yang sangat memiliki risiko haram, “high risk” kemudian disusul produk dengan kategori “medium risk” dan “no risk”.
Sebagai lembaga ilmiah, LPPOM tetap melakukan klarifikasi terhadap informasi yang dianggap perlu. Dalam melakukan pengakuan sertifikat halal, kata Lukman, LPPOM tidak serta merta buta mata terhadap lembaga halal luar negeri. Ketika semua jelas, maka bisa dijadikan informasi tambahan ke Komisi Fatwa karena dari sini mereka bisa mendapatkan Serfikat Halal. “Ada kewenangan ilmiah yang dimiliki LPPOM di dalam memberikan laporan kepada Komisi Fatwa, ketika belum jelas, belum bisa membawa poin-poin itu ke Komisi Fatwa,” imbuhnya.
Setelah semua jelas informasinya dan dianggap tidak ada unsur haram, baru mendapatkan Sertifikat Halal dari Komisi Fatwa. Ketika perusahaan sudah dianggap selesai prosesnya, mereka bisa mengajukan ijin pencantuman label halal ke LPPOM untuk pencantuman label Halal dengan melampirkan Sertifikat Halal dari Komisi Fatwa MUI.
Oleh karena itu, softlens Lensza.co.id yang sudah dilabeli halal oleh MUI, baik dipakai oleh siapapun Muslimin dan Muslimah dan tidak mengandung komposisi yang haram.
No comments:
Post a Comment